Sumber gambar http://bigeye.ug |
Manajemen
risiko dalam komunikasi berupaya mengelola, mengetahui early warning signs, yaitu deteksi dini tanda-tanda kemungkinan
bisa terjadinya suatu krisis, sehingga komunikasi dapat dikelola secara efektif
dan efisien. Kelanjutan korporasi/institusi bisa terhambat bahkan reputasi
korporasi/institusi bisa rusak jika komunikasi tidak dirancang dan dikerjakan
secara profesional. Michael Regester
dan Judy Larkin dalam bukunya Risk Issues and Crisis Management (2000),
menyatakan bahwa tesis masyarakat risiko mengidentifikasi pola baru kecemasan
politik dan publik. Konflik ini diangkat oleh kombinasi di antaranya perubahan
sosial yang berkelanjutan dan ketidakpastian, juga oleh inovasi teknologi
industri. Dapat dipahami bahwa konflik sosial dan kepentingan politik serta
kemajuan teknologi industri menjadi tantangan risiko perusahan yang harus
dicermati.
Meskipun sikap Peter Power dalam Busines School Press (2000) lebih
berhati-hati dengan mengatakan bahwa Crisis
is a facet of risk management, although it is probably untrue to say that
Crisis Management represents a failure of Risk Management since it will never
be possible to totally mitigate the chances of catastrophes occurring. Crisis
Management is occasionally referred to as incident management, although several
industry specialists argue that the term crisis management is more accurate. Di
sini Peter Power ingin menekankan bahwa pengelolaan risiko melalui manajemen
krisis sangat penting meskipun dengan pengetahuan manajemen risiko kemungkinan
terjadinya suatu krisis, yang dalam hal ini merupakan kejadian yang terencana,
tidaklah mungkin dapat secara keseluruhan dikurangi. Korelasi Risk Management dan Crisis Management diperjelas oleh pendapat Peter Power dalam Business School Press yang jelas
mengemukakan banyak pendapat pakar industri tentang pentingnya pengetahuan
manajemen krisis.
Risk Management
dan Crisis Management yang
berorientasi pada manajemen komunikasi korporasi/institusi bertujuan agar
kejadian buruk atau kurang pantas tidak mempengaruhi citra, yang dapat
berdampak negatif bagi publik:
a.
Internal:
perusahaan, investor (pemilik), pemangku manajemen, pekerja (staf dan buruhnya)
b. Eksternal:
pemegang saham (bagi perusahaan terbuka/public
listed company), pemasok, distributor, klien, konsumen, pemangku pembuat
regulasi (pemerintah) dan public external
yang amat penting adalah jurnalis/media yang merupakan sarana publikasi untuk
pencapaian komunikasi yang efisien.
Perusahaan/institusi yang profesional sewajarnya
memiliki tim crisis management yang
dikelola oleh seorang PR Specialist
Crisis, yang antara lain memiliki pengetahuan yang luas dan keterampilan (skill) yang bertindak sebagai
konsultan/penasehat kepada pemangku pemimpin perusahaan/institusi, dapat secara
efisien dan efektif membina hubungan komunikasi dan dapat menjelaskan kejadian
dengan tepat dan tanggap (segera). Seluruh tim manajemen krisis tentunya perlu
“mendengarkan/mengikuti” sebab-musabab risiko dan masalah yang menimpa
perusahaan bila krisis terjadi. Dalam hal ini listening skills menjadi sangat penting, agar kemudian dapat secara
cepat dan tepat menganalisis demi pengambilan keputusan dan tindakan segera
secara tepat.
Kecakapan dalam menyampaikan, to convey, misi dan visi atau idealisme dan tanggung jawab
perusahaan menjadi dasar agar tim krisis dapat berkomunikasi secara efektif.
Kecakapan berkomunikasi 2 (dua) arah sangat diperlukan, sehingga dapat dibina mutual respect & mutual understanding.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar