Kamis, 04 Januari 2018

Arogansi Menuntun pada Kehancuran Reputasi

Sumber gambar: catatan-abg-jonni.blogspot.co.id
David Wighton, Editor Bisnis tabloid The Times menulis bahwa ketika mendengar rencana Tony Hayward akan pulang berlibur berlayar dengan yacht–nya, semula ia tidak percaya. Namun pada akhir minggu itu diketahui bahwa berita tersebut ternyata benar. Sesungguhnya sebelum itu, simpati pada Tony Hayward sebenarnya disampaikan oleh dunia bisnis Inggris. Para pemimpin perusahaan di Inggris berpendapat bahwa Hayward hanyalah dicemooh oleh Presiden Obama dan diberitakan secara tidak adil oleh media di Amerika Serikat.
Tony Hayward dikenal sebagai CEO BP yang memiliki talenta yang memulai sungguh-sungguh berusaha menghentikan semburan minyak dari ladangnya. Memang semburan minyak ini merupakan musibah pencemaran lingkungan yang paling dahsyat dalam sejarah Amerika. Sebelum ini, sehabis meledaknya anjungan pengeboran laut dalam yang menelan 11 orang korban meninggal, Tony Hayward, membuat pernyataan yang sangat keliru, ditinjau dari segi Public Relations, ketika dia berujar: “Siapa yang menginginkan kejadian ini, saya pun ingin kehidupan saya kembali seperti semula.”
Kritik mulai dilancarkan ketika Hayward pulang mudik untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-54 dengan keluarganya di Inggris. Karyawan BP lainnya tentu tidak akan pulang mudik untuk merayakan ulang tahunnya, jika di tempat kerja sedang terjadi musibah. Bagi orang Amerika, tindakannya menunjukkan kesombongannya, karena dengan mudahnya dia bisa pulang mudik; sedangkan karyawan lain harus tetap bekerja keras menghadapi semburan minyak yang menjadi semakin parah dan belum tahu cara mengatasinya dengan benar. Mereka berusaha mencoba berbagai cara. Ketika beberapa hari sebelumnya menghadap panggilan Kongres, Hayward berdiam diri, tidak bersedia memberikan keterangan lebih rinci mengenai sebab kejadian pecahnya pipa pengeboran di laut dalam. Sikap demikian kemudian mengarah pada risiko tuntutan hukum terhadap BP.
Oleh Editor The Times, David Wighton, keputusan Hayward mudik untuk merayakan ulang tahunnya dengan berlayar di sekitar pulau Wight, dikatakan sebagai keputusan “bunuh diri”. Sebaliknya mungkin Hayward berpendapat beda: setelah berminggu-minggu lamanya dia berada di lapangan Teluk Meksiko, mengapa orang lain harus merisaukan kalau dia pulang berakhir pekan. Memang sesungguhnya tidak akan berbeda, apakah dia pulang menikmati berlayar dengan perahunya, atau tinggal di rumah menonton pertandingan sepak bola World Cup di depan TV bersama putranya. Namun dari segi Public Relations, berlibur pada waktu “gawat” terjadi di perusahaan yang dipimpinnya, pasti menimbulkan berbagai persepsi “kurang pas”. Tampaknya dia juga tidak menghiraukan konsultasi dari PR Advisers yang dibayarnya.

Chairman BP, Carl-Henric Svanberg, atasan Hayward, diberitakan bertindak lebih “gila”, yaitu juga pergi berlayar menggunakan yacht yang lebih besar lagi di Thailand akhir pekan itu. Namun masih diberi “ampun” oleh media Amerika, karena sebagai petinggi perusahaan minyak dunia, ia diundang menghadiri resepsi kerajaan atas pernikahan putri kerajaan Swedia dan tidak menghadirinya. (Pada permulaan bulan Juli, ketika penulis menyusun buku ini, berbincang dengan seorang kulit putih, ekspatriat yang bekerja di Jakarta, menduga bahwa kedua petinggi BP tersebut: Hayward dan Svanberg, diperkirakan akan digantikan tidak lama lagi). Media yang masih penuh perhatian pada perkembangan semburan minyak di Teluk Meksiko juga bereaksi keras ketika pada akhir pekan 17 Juli 2010, Presiden Barack Obama beserta keluarganya menikmati liburan di resor dengan nama Bar Harbor Maine. Antara lain siaran berita malam TV CNN meliput santainya keluarga Obama menikmati pemandangan dan permainan di udara bebas dengan latar belakang resor tersebut yang indah alamnya. Komentar CNN mempertanyakan kelayakan mengambil waktu berlibur ketika bencana BP belum pasti akan berakhir. (Tanggal 13 Juli 2010, sudah dikabarkan keberhasilan BP “menyumbat” semburan minyak mentah).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar