Tulisan ini merupakan kajian ilmiah singkat terhadap perkembangan komunikasi
politik Pemerintah Republik Indonesia pada era Presiden RI ke 4 Abdurrahman
Wahid, atau yang populer dipanggil sebagai Gus Dur pada tahun 1999 ketika merestui
dirayakannya Tahun Baru Imlek diikuti peresmian oleh Presiden RI Ke 5 Megawati
Soekarnoputri, bahwa Tahun Baru Imlek dinyatakan sebagai Hari Libur Nasional.
Peristiwa bersejarah tersebut tidak lepas dari strategi komunikasi yang dirancang oleh
Gus Dur secara pribadi dan penasehatnya, serta pemuka penganut Confucianism di
Indonesia. Dalam masa reformasi pasca 1998, berlimpah tulisan dan siaran dari media
maupun akademisi mengenai kontroversi pemikiran rasional Gus Dur. Pemikirannya
sering disampaikan kepada media secara “ceplas-ceplos”, langsung dan gamblang.
Kata-kata yang sering disampaikan atas berita media disebutnya sering “diplintir”,
dan ketika mengkritik sikap sidang DPR RI seperti di “taman kanak-kanak”. Dalam
pemikiran mengenai prediksi masa depan, beliau mengarah ke RRC, dan setelah itu
terbukti Negara China ekonominya (GDP) tumbuh dikisaran 7 – 8 persen. Lawatan
ke luar negeri Presiden RI ke 4 ini pertama adalah ke RRC dan beliau mempertegas
pemulihan hubungan ekonomi antara Indonesia dan RRC. Dalam kepemimpinan Gus
Dur sudah dapat terlihat tanda-tanda Negara RRC ini sebagai Negara besar potensial.
Setelah itu baru beliau berkunjung ke banyak Negara lainnya guna memulihkan
hubungan diplomatik dan ekonomi Indonesia.
Gagasan Gus Dur sering “impulsive” namun rasional. Demikian ketika di bulan
Januari 2001 mengumumkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur opsional diikuti
dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa yang di jaman Orde Baru
tulisan Tionghoa dilarang keras tampil di media, papan pengumuman atau nama
perusahaan di tempat-tempat perdagangan di seluruh Indonesia.
Pluralisme di Indonesia: seperti yang dipertanyakan Friedman sebagai anecdote,
dikutip oleh Samovar:
“Can Islam, Christianity and Judaism know that God speaks Arabic on
Fridays, Hebrew on Saturdays and Latin on Sundays? That He welcomes different
human beings approaching him through their own history, out of their own history,
out of their language and cultural heritage?”
Apa yang dipelajari Samovar, oleh kalangan pemersatu bangsa di Indonesia
ingin diwujudkan. Tentu persatuan bangsa yang terdiri dari sedemikann banyaknya
budaya asli daerah masing-masing ditambah dengan keberadaan berbagai aliran
agama, tidaklah mudah. Upaya terus-menerus dari berbagai lembaga untuk saling
menghargai masing-masing agama tetap harus diupayakan dengan sungguh-sungguh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar